Sejarah Kereta Api di Priangan
Judul: Kereta Api di
Priangan Tempo Doeloe
Penulis: Sudarsono
Katam
Cetakan: Pertama, 2014
Penerbit: Pustaka Jaya
Tebal: ix + 179 halaman
ISBN: 978-979-419-430-0
Sejarah
perkeretaapian di Priangan pada dasarnya dapat dilihat sebagai salah satu
monumen kejayaan pemerintah kolonial. Sejak menduduki Tatar Priangan pada abad
16, pemerintah Belanda nyatanya tidak hanya meninggalkan rasa benci di benak
sebagian kaum pribumi. Taman-taman yang mereka buat, kebun teh dan kina,
sejumlah straat juga gedung-gedung
dengan arsitektur menakjubkan, terbukti menimbulkan decak kagum dan rasa
hormat.
Lewat
Sejarah Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe,
Soedarsono Katam berusaha memberikan informasi mengenai masa-masa di mana alat
transportasi massal peninggalan kolonial, kereta api, menjadi bagian penting
bagi aktivitas masyarakat Tatar Priangan. Buku ini dibuka dengan sedikit
penjelasan tentang Pembentukan Keresidenan Priangan (hal. 1-4), dilanjutkan
dengan Sejarah Singkat Perkeretaapian (hal. 5-12).
Adapun
yang menjadi pokok gagasan dari buku ini, Perkeretaapian di Priangan (hal.
13-129), dibagi ke dalam 8 subbab dengan
pembahasan mengenai jalur-jalur kereta api dan seluruh stasiun di Priangan tempo
dulu. Meskipun
memakan halaman yang cukup banyak, bagian perkeretaapian
di Priangan nyatanya lebih banyak dihiasi foto ketimbang tulisan. Hal ini, bagi
mereka yang membutuhkan penjelasan sosiologis, bisa jadi merupakan suatu kekurangan. Namun
bagi mereka yang mengenal karya-karya Sudarsono Katam, dominannya foto ketimbang tulisan dapat dipahami sebagai ciri khas
penulisnya. Nyaris seluruh buku mengenai cultural
heritage yang ditulis Sudarsono Katam (yang paling baru antara lain Gemeente Huis, Tjitaroemplein, dan Insuline
Park) didominasi oleh foto. Namun, biarpun demikian,
buku ini tetaplah sebuah buku, bukan album
kenangan.
Jalur-jalur
kereta api dan beberapa stasiun yang disebutkan Sudarsono Katam dalam buku ini
tidak semuanya masih bisa kita dapati. Rel kereta di jalur
Rancaekek-Tanjungsari misalnya, dicabut dan dipindahkan ke jalur Saketi-Bayah
oleh pemerintah Jepang (hal. 118). Sedang jalur kereta Bandung-Ciwidey ditutup
karena alasan kurang menguntungkan serta padatnya area pemukiman (hal. 111).
Kehadiran buku nostalgia semacam
ini sebenarnya tidak hanya berfungsi sebagai sarana dokumentasi ataupun pemberi
informasi. Pada satu sisi, buku ini malah dapat dinilai sebagai bentuk
pembelajaran sekaligus kritik dan masukan bagi pemerintah maupun PT. KAI. Melalui buku ini pemerintah mestinya mengerti bahwa
perhatiannya terhadap sarana dan perawatan transportasi publik belum lebih baik
dibanding kinerja dan perhatian yang ditunjukkan kompeni. Pun, apa yang
dilakukan kaum kompeni
sejatinya bertolak dari kehendaknya menguasai sumber daya alam negeri ini.
Melihat
peralatan yang digunakan untuk membangun dan merawat rel kereta api yang
tersaji di buku ini (di antaranya foto-foto di halaman 39, 42, 83, 92, 110, dan
125) saya tak habis pikir -dengan teknologi saat itu yang tampak terbatas- rel
dan jembatan-jembatan yang dihasilkan para kompeni dengan bantuan tenaga
pribumi sebagian besar masih bertahan hingga saat ini. Terkait
dengan hal inilah saya kira cerita atau penjelasan mengenai teknik
pembuatan rel dan jembatan kereta (juga bahan-bahan yang diperlukannya) dapat
melengkapi buku ini suatu saat nanti.
Sejarah Kereta Api di
Priangan Tempo Doeloe merupakan buku pertama mengenai riwayat
kereta api di Tatar Priangan. Respon dan apresiasi positif dari pembaca
menandakan bahwa buku ini dapat menjadi tonggak penting bagi khazanah literatur
perkerataapian kita di masa mendatang []
dimuat di rubrik Resensi H. U. Pikiran Rakyat, 28 Agustus 2014
dimuat di rubrik Resensi H. U. Pikiran Rakyat, 28 Agustus 2014
Komentar
Posting Komentar