Judul Buku: Mentari Sang Kelana: Cerita dan Makna
Lagu-lagu Iwan Abdulrachman
Penulis: Arie Malangyudo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: September, 2017 (Cetakan Pertama)
Halaman: xii + 273 hlm; 14 cm x 21 cm
ISBN: 978-602-424-676-1
Iwan
Abdulrachman alias Abah Iwan adalah nama penting dalam khazanah musik balada (folks)
Indonesia. Karakternya kuat. Karya-karyanya memukau dan mantap. Kiprahnya
sebagai musikus membentang sejak usia 17 tahun hingga sekarang. Lewat buku Mentari
Sang Kelana: Cerita dan Makna Lagu-lagu Iwan Abdulrachman; Arie Malangyudo berupaya
menggali pesan sekaligus menyingkap asbabu-nuzul lagu-lagu yang ditulis sang maestro.
Sejak 1964
hingga 2008 tercatat 51 lagu ditulis Abah. Secara kuantitas, menghasilkan 51
lagu dalam rentang waktu lebih dari 40 tahun bukanlah pencapaian yang
memuaskan. Namun, produktivitas tidak ada kaitannya dengan mutu karya. Setidaknya,
kualitas Abah sebagai penggubah lagu jempolan dapat dilihat dari kemenangan
Burung Camar (Vina Panduwinata) di World Popular Song Festival in Tokyo pada
1985 serta masuknya lagu tersebut beserta Melati dari Jayagiri dan Flamboyan (Bimbo)
dalam 150 Lagu Terbaik Sepanjang Masa versi Majalah Rolling Stone Indonesia.
Pada 2007 Abah dianugerahi
Tanda Kehormatan Satya Lencana Wirakarya oleh SBY atas jasanya menciptakan
lagu-lagu yang berisikan pesan-pesan moral, semangat nasionalisme-relijius, dan
nilai patriotisme.
Mentari Sang
Kelana menunjukkan, dalam berkarya Abah Iwan selalu melibatkan segenap raga dan
jiwanya. Hal itu terlacak dari keterangan Arie soal bagaimana Abah menggubah Hymne
Siliwangi.
“Untuk menggubah
Hymne Siliwangi itu, Abah perlu melakukan penghayatan secara mendalam. Untuk
itu dia menapaki jalur di gunung-gunung di sekitar Papandayan dan Jawa Barat
yang pernah dilalui oleh Siliwangi,” tulis Arie (hal. 117). Hymne Siliwangi
ditulis pada 11 April 1996 dan merupakan salah satu karya Abah yang
didedikasikan untuk sebuah institusi.
Selain Hymne
Siliwangi, karya lain yang ditulis Abah untuk institusi yakni Hymne Wanadri
(1967), Hymne Unpad (1971), Hymne Universitas Mulawarman (1976), Hymne
Universitas IBA (1993), dan RSHS Tercinta (2008).
KAYA
TAFSIR
Penjelasan
mengenai asal-mula lahirnya lagu Tajam Tak Bertepi (1971) saya kira merupakan
salah satu penjelasan menarik di buku ini. Pasalnya, saat lagu itu dinyanyikan,
kesan yang terdengar menyiratkan bahwa Tajam Tak Bertepi adalah lagu cinta. Liriknya
mencerminkan perihnya perasaan bertepuk sebelah tangan, sedang lengking suara
Abah pada refrain terdengar seperti isyarat seseorang yang kehilangan harapan. Aih,
lagu patah hati yang menawan!
Tak
‘kan tergambakan dengan kata-kata/Perasaan sedih ini/Maka kuungkapkan lewat
nada dari lagu ini//Ingin kutanyakan namun t’lah kuduga/Jawaban yang ‘kan
kuterima/Rasa penasaran dalam hatiku/Tajam tak bertepi.
Hanya, alih-alih
sentimental, lagu itu ternyata timbul dari empati Abah atas suatu persoalan
sosial. Menurut Arie, lagu tersebut tercipta saat Abah jalan kaki dari Bandung
ke Sukabumi bersama sahabatnya, Iwa Kartika. Di perjalanan, keduanya merasakan
kepedihan masyarakat yang dibelenggu rezim pemerintah otoriter (hal. 52).
Hal yang sama berlaku
pada Doa (1974). Lagu yang menggemakan suara dhaif manusia itu ditulis Abah
setelah terjadi Malapetaka 15 Januari (hal. 60). Adapun Mentari (1978), lagu monumental
yang sarat optimisme tersebut ternyata ditulis Abah sebagai respons atas
masuknya militer ke kampus-kampus (hal. 92). Kerja Ari dalam menyingkap konteks
sejarah lagu-lagu Abah secara tidak langsung menunjukkan bahwa posisi Abah
sebagai seniman tidak absen dari persoalan zamannya.
Lewat Mentari
Sang Kelana pula terlihat bahwa kekuatan Abah dalam menuliskan lirik terletak pada
sensitivitas dan ambiguitasnya. Pada lagu-lagunya, ada tafsir yang silih tarik antara
hal-hal personal dan sosio-komunal, antara yang romantik dan relijius, antara yang
profan dan transendental.
Pendeknya, cinta
dan kepedulian Abah terhadap sesama manusia bisa ditafsirkan sebagai ungkapan
cinta dan kepeduliannya terhadap alam dan Tuhan. Demikian juga sebaliknya.
Kecintaan dan ketakjuban Abah terhadap Tuhan dan alam adalah sekaligus
kecintaan dan ketakjuban dirinya terhadap manusia—lengkap dengan segala
persoalannya.
Lantaran itu, kepiawaian
Abah dalam menulis lirik mengingatkan saya pada capaian terbaik seorang penyair
dalam menulis puisi. Buku yang ditulis Arie seolah menegaskan anggapan banyak
orang bahwa sosok Iwan Abdulrachman sebagai trubadur tak ubahnya penyair yang
bernyanyi.
Namun, bukan
berarti Mentari Sang Kelana luput dari kekurangan. Dijadikannya pernyataan Abah
Iwan sebagai satu-satunya rujukan dan keterangan justru menjadikan buku ini,
dalam beberapa hal, terasa hambar dan membosankan. Terlebih hampir separuh isi
buku ini (hal. 150-hal. 266) hanya diisi oleh partitur karya-karya Abah. Hal
yang dirasa kurang memuaskan dahaga pembaca.
Tentu akan lebih
menarik jika Arie memasukkan kesaksian orang-orang yang tahu persis asbabu-nuzul
lirik-lirik gubahan Abah. Paling tidak, selain menghindarkan pembaca pada satu
tafsir yang final, usaha semacam itu akan memperkaya kesan dan pengetahuan
pembaca terhadap karya-karya yang dihasilkan sosok kelahiran Sumedang 3
September 1947 itu.
Lepas dari
masukan di atas, Mentari Sang Kelana layak dijadikan tonggak referensi untuk
menelusuri dan mempelajari karya maupun sosok Abah lebih dalam. Dengan segala
aktivitas yang digelutinya, tokoh Wanadri ini tak ubahnya sebuah rumah dengan ruang-ruang
yang beragam. Arie sudah menempatkan karyanya sebagai satu pintu untuk memasuki
dunia Si Abah. Masih perlu banyak pintu untuk masuk ke ruang-ruang lain dalam
diri Abah yang, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, tampak menyimpan banyak
mutiara kehidupan.
Komentar
Posting Komentar