Langsung ke konten utama

Satu Ulasan tentang Buku Joko Pinurbo




UPAYA PUITWIT MENAKLUKAN PUISI

Penyair Joko Pinurbo (Jokpin) menerbitkan buku barunya, Haduh aku di-follow. Berbeda dengan buku puisi sebelumnya, karya Jokpin kali ini hadir dengan sampul yang sangat mencolok. Buku dengan ukuran yang lebih besar dibanding buku Jokpin lainnya ini, seluruh halamannya dipenuhi ilustrasi-ilustrasi menarik karya Rio Suzandy. Jika melihat selintas, penggemar fanatik Jokpin mungkin akan kecewa melihat buku terbaru penyair kesayangannya hadir dengan kondisi ngepop. Terlepas dari penampilannya, buku yang memuat tulisan Jokpin  ini saya kira sangat layak dibicarakan.
Dasar penyair, terlebih penyair Jokpin, berbagai upaya terus ditempuh untuk memanjangkan nafas kepenyairannya. Setelah sukses dengan “celana”, “ranjang”, “kuburan”, dan “ibu”, obsesi Jokpin untuk terus mengeksplorasi benda-benda domestik lain di sekitar tubuh manusia ternyata belum habis. Bahkan secara radikal, dalam Haduh, aku di-follow, upaya Jokpin untuk mengeksplorasi benda-benda hanya dituangkan melalui susunan huruf-huruf yang tak lebih dari 140 karakter. Pada mulanya, hal ini tentu lebih dilatari oleh ketentuan twitter ketimbang pilihan estetis dari penyair Jokpin sendiri. Dan sebagai penyair, justru dalam kondisi inilah Jokpin memperlihatkan kepiawaiannya. Jokpin tidak semata menggadaikan kepenyairannya kepada media sosial semacam twitter, namun lewat twitterlah Jokpin mengasah kemampuannya memadatkan kata-kata tanpa harus kehilangan pukau magis pesonanya. Puitwit hanya salah satu cara kecil untuk sejenak mengendap, menepi, menghidupkan imajinasi.
Puitwit, puisi twitter. Itulah yang ditawarkan Jokpin kepada pembaca. Sebagaimana puisi-puisi Jokpin lainnya, puitwit-puitwit yang terkumpul dalam Haduh, aku di-follow nyaris semuanya diliputi parodi. Orang gila itu memetik setangkai mawar, lalu berlutut menghadap bulan. Habis itu ia menangis. Gawat, warasnya kumat (hal. 79). Selain mengambil gaya naratif sebagaimana puitwit di atas, puitwit-puitwit Jokpin yang lain kadang hadir juga dalam bentuk aforisma bersahaja yang, saya kira, mengandung kedalaman makna. Sebagian dari hidup adalah mimpi. Sebagian lagi terjemahan bebas atas mimpi (hal 43).
Seperti dikemukakan di atas, Jokpin adalah penyair yang sangat terobsesi kepada benda-benda. Dalam kumpulan puitwitnya, terlihat jelas upaya Jokpin mengeksplorasi satu benda dari berbagai sudut pandang. Hujanmu sudah kuterima dengan baik. Sudah kupotong-potong jadi batang-batang air. Akan kubagi ke anak-anak senja yang baru lahir (hal 16).  Ada anak hujan yang tak mau pulang, menggenang saja di halaman belakang, menjadi kolam kecil yang dicintai ibu hujan (hal 17). Tundukkan kepalamu. Hujan sedang mengantar bangkai tikus dan bangkai sepi ke tempat yang layak di belakang rumahmu (hal 17). Hujanmu yang manis ternyata suka kencing sembarangan di depan pintu, kemudian pergi sembari misuh dan menggerutu (hal 17). Hujan, ingat aku, daun yang setia menadah jeritmu, jika kau sudah moksa menjadi gigil dan ngilu (hal 17).
Meski memiliki obsesi yang besar terhadap suatu benda (suatu kata, diksi), tema yang digarap Jokpin ternyata tidak seragam. Jokpin memang memiliki kecenderungan menghidupkan benda-benda domestik di sekitar tubuh manusia, namun kecenderungan itu tidak lantas menjebaknya dalam lubang dangkal kreativitas. Diksi-diksi domestik di sekitar Jokpin berhasil dijadikan sarana untuk memunculkan pandangan segar tentang berbagai narasi besar yang dipungut dari sana-sini, dari kitab suci bahkan kapitalisme. Aku berutang pipi kepada penyairku. Ia menampar pipi kananku dengan puisi dan belum sempat kuberikan pipi kiriku (hal 103). Tabahkanlah kami, para perempuan pengembara ini, menghadapi rezim belanja yang digdaya ini. Amin (hal 80).
Selintas, gaya ungkap sangat padat yang diusung Jokpin dalam kumpulan puitwitnya mengingatkan saya pada haiku. Sebagai salah satu bentuk puisi tradisional Jepang, haiku memiliki aturan terdiri dari 17 suku kata dan terbagi dalam 3 baris. Baris pertama 5 suku kata, baris kedua 7 suku kata, baris ketiga 5 suku kata. Secara bentuk, puitwit memang tidak seketat haiku, namun dari segi efektivitas bahasa, puitwit dan haiku saya kira memiliki kedudukan yang setara.
Kemunculan kumpulan puitwit Jokpin sebenarnya bukan hal baru di tengah maraknya penggunaan media sosial. Jauh sebelum Haduh, aku di-follow terbit, kumpulan twit penyair Goenawan Mohamad (GM), Pagi dan Hal-hal yang Dipungut Kembali (Gramedia Pustaka Utama, 2011), telah lebih dulu hadir di tengah pembaca. Jika Jokpin menyebut kumpulan twitnya sebagai puitwit, GM lebih memilih istilah epigram untuk menamai kumpulan twitnya tadi. Meski berbeda istilah, baik pada tulisan Jokpin maupun GM, kerap ditemukan renungan-renungan filosofis yang bersifat universal. Yang paling berguna bagiku, Guru, bukanlah ilmumu, melainkan cintamu kepada aku dan hidupku (Jokpin, hal 115). Saya tak mengharapkan pahlawan. Orang tak selalu baik, benar, berani. Tapi saya mengagumi tindakan yang baik, benar, berani, biarpun sebentar (GM, hal 11).
Di luar konten, hal yang tak kalah menarik dari terbitnya kumpulan twit atau status facebook penulis-penulis terkenal adalah kaitannya dengan industrisasi. Setiap pembaca boleh saja menduga bahwa penerbitan buku-buku demikian lebih diprakarsai kepentingan pihak-pihak oportunis. Memang agak sinis. Tapi biarpun demikian, pendapat semacam itu cukup perlu untuk dikemukakan.
Oportunis atau sikap ingin mengambil keuntungan dalam konteks penerbitan kumpulan puitwit Jokpin saya kira berujung pada win-win solutions. Penerbit dan penulis akan diuntungkan secara materi jika kemudian buku itu laku di masyarakat. Sementara itu, dunia kesusastraan, terlebih kehidupan buku-buku puisi, akan menemukan pembacanya dalam segmentasi yang lebih beragam. Masyarakat sendiri, yang selama ini lebih banyak mengira bahwa membaca puisi itu menjemukan dan hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu, boleh segera meralat dugaannya. Jokpin, dalam kumpulan puitwitnya (diperkuat oleh ilustrasi-ilustrasi yang tak kalah menarik), berhasil menyuguhkan puisi dalam suasana yang santai, gembira, ringkas, tapi tak kehilangan nilai kontemplatifnya. Kondisi demikian menjadi isyarat bahwa sebagai penyair, bahkan di twitterland, Jokpin lagi-lagi berhasil menaklukan bahasa.
Lantas apa yang didapat pembaca dari buku baru Jokpin ini? Di tengah riuhnya lalu lintas kata-kata, di tubuh sebuah bangsa yang masyarakatnya gemar mengeluh, puitwit Jokpin dapat dikatakan berperan sebagai sekotak ruang singgah yang teduh dan ramah. Pemilik ruangan, tanpa beban sering kali  membiarkan tamunya tertawa riang kemudian merenung tercengang-cengang. Namun tak jarang pula Jokpin bertindak sebaliknya. Ia mengajak tamunya merenung, kemudian lari saat melihat sang tamu tiba-tiba senyum sendiri seperti orang gila. Simak puitwitnya berikut: Dengan cara apa kuhapus airmatamu yang sebening kaca dan sehangat senja? Dengan cara cari sendiri dong (hal 81). Hatimu yang handal akan capek sendiri menghadapi cinta yang teknis dan ribet abis (hal 90). Waktu kecil saya suka pergi ke kebun mencari embun. Saya jual kepada Ayah, pemabuk parah. Hasilnya buat bayar sekolah (hal 114).
Saya sudah cukup banyak bicara dan mengutip puitwit Jokpin untuk sekadar meyakinkan Anda bahwa Haduh, aku di-follow memang layak untuk dibaca. Dengan tampilan sampul dan isi yang eye-catching, buku ini akan jadi penting bagi siapa saja yang butuh hiburan, sekaligus ingin belajar bagaimana berpikir cerdas. Jokpin memang ahlinya. Ia seorang penyair yang berhasil memadukan kesungguhan berpikir dengan kesungguhan bermain-main. 

***
Dimuat di Sastra Digital edisi Juni 2013

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI PANJANG ANNA AKHMATOVA

REKUIEM 1935-1940 Bukan, bukan di bawah naungan langit asing atau di bawah perlindungan orang asing aku berbagi bersama saudara sebangsaku tapi di sana, di mana kemalangan bangsaku telah berlalu. (1961) PENGANTAR Pada hari-hari mengerikan rezim Nikolai Yezhov kuhabiskan tujuh belas bulan dalam antrean penjara di Leningrad. Suatu ketika, seseorang ‘mengenaliku’ di sana. Lalu seorang perempuan, berdiri di belakangku, yang, tentunya, tak pernah mendengar namaku, seketika tersentak dari lamunannya yang lesu —hal wajar bagi kami di sana—lantas bertanya ke padaku, berbisik di telingaku (di sana setiap pembicaraan hanya berlangsung lewat bisikan): “Bisakah kau jelaskan semua ini?” dan kujawab: “Ya, aku bisa.” Tiba-tiba sesuatu yang mirip senyuman terpancar pada apa yang selama bertahun-tahun cuma seraut wajah datar. (Leningrad, 1 April 1957)  PERSEMBAHAN Gunung-gunung menggelincir karena bencana ini, sungai-sungai besar tak lagi mengalir...

KISAH DI BALIK LAGU ABAH IWAN

Judul Buku:      Mentari Sang Kelana: Cerita dan Makna Lagu-lagu Iwan Abdulrachman Penulis:             Arie Malangyudo Penerbit:           Kepustakaan Populer Gramedia Tahun Terbit:    September, 2017 (Cetakan Pertama)   Halaman:          xii + 273 hlm; 14 cm x 21 cm ISBN:               978-602-424-676-1 Iwan Abdulrachman alias Abah Iwan adalah nama penting dalam khazanah musik balada (folks) Indonesia. Karakternya kuat. Karya-karyanya memukau dan mantap. Kiprahnya sebagai musikus membentang sejak usia 17 tahun hingga sekarang. Lewat buku Mentari Sang Kelana: Cerita dan Makna Lagu-lagu Iwan Abdulrachman; Arie Malangyudo berupaya menggali pesan sekaligus menyingkap asbabu-nuzul lagu-lagu yang ditulis sang maestro. Sejak 196...

Satu Sajak Abdulla Tuqai

PENGARUH Di saat paling sulit dan keras dalam kehidupan; Jika aku terbakar dalam api rindu dan kepedihan: Cepat kubaca sebuah bagian indah dari al-quran, Seluruh luka direnggut oleh tangan gaib yang terulur dari jiwa. Bahkan seluruh keraguan terbang dari hati dan aku pun mulai menangis: Dengan tangisan suci kuurai mutiara di pipi; Hatiku sungguh bersih, kubaca iman dan menjadi seorang mukmin; Rasa nyaman melingkupi: aku terbebas dari beban berat menghimpit ini; Ya Allah! Segala yang kau larang sepenuhnya tertolak dan rusak, ucapku. Aku pun bersujud dan berkata “Allah Maha Benar! Allah Maha Besar!” 1908