Langsung ke konten utama

Dari Baliho ke Video: Hubungan Saya dengan Uu Ruzhanul Ulum




“Cintailah kekasihmu sewajarnya, karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi seorang yang engkau benci. Dan bencilah orang yang engkau benci sewajarnya karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi kekasihmu.” (HR Tirmidzi, dishahihkan oleh syaikh Al Albani). 

Hubungan saya dengan wakil gubernur Jawa Barat Uu Ruhzanul Ulum boleh dibilang seperti hubungan saya selaku fans Arsenal dengan pelatih Tottenham Hotspur Maurico Pochettino: saya sulit menyukainya, musykil bertemu langsung dengannya, namun diam-diam apa yang ia lakukan, khususon kemampuannya melepaskan diri dari sejumlah persoalan, sanggup mengubah perasaan kesal menjadi sebentuk kekaguman yang tak bisa dinafikan. 

Demikianlah yang terjadi pada diri saya sejak pertama kali melihat sosok Uu beserta istri pertamanya dalam sebuah baliho di alun-alun Singaparna circa 2011. “Eh, ini bupati yang baru apa Narji Cagur, sih? Mirip betul!” 

Jarak antara rumah saya dengan kantor tempat Uu bekerja selama 7 tahun tak lebih dari 1 km. Di halaman Gedung Bupati—kini lebih dikenal dengan sebutan Gebu—saban hari Minggu, konon, Kang Uu rutin berolahraga bersama para warga. Namun demikian, alih-alih bertemu langsung, saya hanya dapat melihat senyumannya dalam berbagai baliho dan spanduk. (Salah saya juga, sih, gak pernah lari pagi).

Bertahun-tahun kemudian, seiring maraknya kampanye Gerbang Desa Jawa Barat, pertemuan saya dengan baliho-baliho Uu tidak hanya berlangsung di seputar Tasikmalaya, namun juga meluas ke sejumlah kota lain di Jawa Barat. Di Bandung, menyebut dua titik, saya menemukan baliho Pak Uu terpampang strategis di Jalan Setiabudi dan Cihampelas. Sedangkan antara Subang dan Sumedang, seperti lazimnya di Garut dan Singaparna, saya menemukan tampang sumringah Uu tengah melambaikan tangan di kaca belakang sejumlah angkutan perdesaan. 

“Sungguh pemimpin gerbang desa yang sebenarnya,” komentar saya, singkat. 

Jauh sebelum Uu dan para politikus negeri ini mengkampanyekan diri lewat baliho maupun spanduk, Adolf Hitler berhasil menjadikan poster sebagai alat propaganda yang efektif. 

“Propaganda untuk massa harus sederhana, dan menarik emosi. Untuk mempertahankan kesederhanaannya, poster harus berisi hanya beberapa poin utama, yang kemudian harus diulang berkali-kali,” tulis Profesor David Welch dalam artikel soal Propaganda Nazi yang tayang di BBC

Uu dan timnya tampak memahami teori tersebut. Di mana-mana, dengan balutan pakain takwa warna hijau dan kopiah hitam—juga latar hijau dan logo Partai Persatuan Pembangunan—seluruh media kampanye Uu konsisten menampilkan sosok kelahiran Tasikmalaya, 10 Mei 1969 tersebut dengan slogan "Gerbang Desa Jawa Barat". Slogan tersebut, seperti tagline "Dangiang Ki Sunda" yang dikampanyekan Dedi Mulyadi, digaungkan bertahun-tahun sebelum masa kampanye resmi diumumkan. 

Hasilnya, selain elektabilitas Uu adalah yang paling baik di antara nama-nama yang disodorkan untuk mendampingi Ridwan Kamil, tawaran Uu juga dinilai sebagai kombinasi yang tepat untuk melengkapi kinerja Emil. 

“Pak Uu memegang kabupaten, desa-desa, dengan ada program gerbang (gerakan membangun) desa. Pak Ridwan Kamil ke perkotaan. Ini kombinasi sangat baik, saling melengkapi antara satu sama lain,” kata Nurhayati Monoarfa, Ketua Korwil Jabar, Banten, DKI, DPP PPP. 

Saat sejumlah kawan dari Bandung dan Purwakarta, juga dari Bogor dan Cianjur bertanya soal capaian Kabupaten Tasikmalaya dalam mewujudkan Gerbang Desa Jawa Barat, terus terang, saya tak tahu apa-apa. Namun begitu, lazimnya seorang pemuja rahasia di hadapan idolanya, hal demikian malah membuat saya ketagihan memperhatikan segala tingkah laku serta berbagai ucapan seorang Uu. Pertengahan 2017, saya bahkan sempat mendokumentasikan semua poster dan baliho Uu yang saya temui di banyak wilayah.





Kabar dari Warung Kopi 

Paling tidak sejak 2016, tiap kali pulang ke Singaparna, saya kerap menanyakan kabar Uu kepada orang-orang yang saya temui: ibu dan paman di rumah, teman-teman masa kecil, juga pegiat sastra dan kesenian di sejumlah komunitas yang ada di Tasikmalaya. 

Mulia (bukan nama sebenarnya), 38 tahun, seorang kawan yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), menyebut atasan dan instansinya ditugaskan Uu untuk menyebarkan baliho, poster, dan kalender sang bupati di wilayah Bandung. 

“Setiap dinas dan instansi diberi tugas memegang satu wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat. Sebagai bukti bahwa tugas tersebut sudah dikerjakan, kami harus mengirimkan foto selfie,” katanya. Mulia menambahkan, kegiatan tersebut dilakukan paling tidak sebulan sekali dengan dana operasional yang harus dirogoh dari kocek instansi itu sendiri. 

Sementara Arif, 30 tahun, pengajar yang juga MC kawinan, menyebut tiap UPTD di Tasikmalaya diminta menyerahkan uang sebesar 10 juta rupiah untuk dana operasional kampanye Uu. “UPTD itu adanya di setiap kecamatan. Pada 2017, tercatat ada 39 kecamatan di kabupaten ini,” katanya. 

Obrolan-obrolan warung kopi semacam itu, yang perlu diklarifikasi lebih jauh lagi, ditambah kabar tentang keterlibatan Uu dalam bisnis tambang pasir Galunggung, tentu membuat saya kian gemas terhadap pemilik yayasan Ar Ruhzan di Manonjaya itu. Hanya, seperti halnya Tottenham Hotspur bersama Maurico Pochettino, alih-alih terbenam, kiprah Pak Uu malah melesat meninggalkan gerutuan seorang fans Arsenal. 

Yang menyebalkan: awal 2016, tak lama setelah dilantik sebagai bupati Tasikmalaya untuk kedua kalinya, Uu langsung didaulat pendukungnya sebagai calon gubernur Jabar 2018. "Ini aspirasi dari masyarakat dan para kiai. Saya sebagai kader harus siap. Karena sebagai kader ditempatkan di mana saja harus siap. Kalau melihat sejarah, para raja kan dipersiapkan dari jauh," kata Uu di halaman Gedung Sate. 

Saya menyebut hal demikian menyebalkan mengingat untuk memenangi Pilkada Kabupaten Tasikmalaya 2015 saja Uu dan wakilnya Ade Sugianto harus bertarung hingga ke Mahkamah Konstitusi—padahal keduanya adalah calon tunggal di Pilkada tersebut. 

Namun, rasa sebal hanya tinggal rasa sebal. Sekali lagi, seperti halnya Tottenham Hotspur bersama Maurico Pochettino, alih-alih terbenam, kiprah Uu malah melesat meninggalkan kekecewaan seorang fans Arsenal. 

“Terlepas dari bayang-bayang Ridwan Kamil, lihatlah betapa nama-nama tenar seperti Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi kalah hoki ketimbang Pak Uu,” komentar Hidayat, 30 tahun, seorang kawan yang punya semangat sama besar dalam memelihara ayam dan menggelar kegiatan kesenian. 

Kami sempat bertempik sorak kala Uu diberitakan terlibat dalam kasus penyalahgunaan dana hibah bansos Tasikmalaya 2017. Sayangnya, hingga kasus yang menyeret mantan Sekda Tasikmalaya Abdul Kodir dkk tersebut dinyatakan selesai, Uu, Panglima Santri Jawa Barat itu, tiga kali mangkir menghindari persidangan

“Para terdakwa hanya mendapat vonis ringan tanpa adanya pengembangan perkara. Padahal, kasus tersebut diduga melibatkan banyak pihak termasuk eks bupati hingga pimpinan DPRD,” tulis Pikiran Rakyat

Joged Uu: Sebuah Titik Balik 

Beberapa hari lalu, Hidayat mengirimi saya secuplik video asyik: Uu, mengenakan kopiah putih yang menjadi salah satu ciri khasnya selama kampanye Pilkada 2018 lalu, anteng bergoyang. 

Gerakan Uu tampak konstan: melantunkan lagu “Piano” karya Rhoma Irama, dengan tangan kiri memegang mic dan lengan kanan berkacak pinggang, bahu Uu bergoyang ke kiri dan kanan. Terkutuklah mereka yang tak sedikit pun terhibur menyaksikan video ini

“Siga nu gebloh (seperti orang bloon),” demikian komentar seorang perempuan di video tersebut, diiringi tawa. 

Suatu malam, sebelum tidur, saya memutar ulang video tersebut berkali-kali dan tak sedikit pun merasa bosan. Karenanya, dengan semangat berbagi kegembiraan, saya mengunggah video tersebut di Facebook dan status Whatsapp. Seorang sepupu bertanya, siapa sosok lucu dalam video itu? Saat saya menjawab wagub Jabar, ia balik berkomentar: “Mirip Pak Uu.” 

Video joged Uu lama-lama mengingatkan saya pada esai Tasikmalaya Kota Dangdut yang ditulis penyair Acep Zamzam Noor. Dalam esai tersebut, Acep menyebut dangdut di Tasikmalaya digemari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pengemis sampai pengusaha, mulai dari tukang kopi hingga bupati. Acep pun melihat dangdut bukan hanya mendarah-daging, namun tanpa disadari sudah menjadi semacam ideologi. 

“Setiap saya menikmati dangdut selalu terbayang berbagai persoalan sosial yang sedang menimpa negeri ini. Terbayang bagaimana rakyat kecil begitu gembira merayakan penderitaannya dengan berdangdut. Mereka berjoget penuh kekhusyukan, menggoyangkan tubuhnya dengan mata terpejam, menghayati atau mungkin melupakan kepahitan hidup sehari-hari. Dalam dangdut kegembiraan dan kesedihan menjadi sebuah harmoni.” 

Selaku, sebut saja: pengamat Uu, saya merasa kecolongan lantaran baru tahu video tersebut setelah Lebaran. Padahal, sebagaimana diberitakan Net TV, video tersebut sudah viral sejak Januari 2018. Bahkan, eureuka, laiknya Archimedes yang kegirangan, goyangan tersebut berhasil memantik ide kreatif seorang Ridwan Kamil. “Nanti mau ada perlombaan joged Pak Uu,” kata Emil. 

Selaku pemimpin sekaligus peserta Pilkada, Uu tak sedikit pun keberatan dengan perlombaan itu. “Kalau sekarang mau dilombakan joged Uu, kalau itu membawa kebaikan kemaslahatan dan kemenangan, silakan saja, saya serahkan semuanya ke tim," kata Uu kepada Kompas.

Sayangnya, hingga saya menuliskan artikel ini, Juli 2019, perlombaan joged Uu, seperti halnya janji-janjinya saat menjabat Bupati Tasikmalaya, sama sekali belum terlaksana. Tapi sekarang hal itu bukan persoalan benar. Melihat kelenturan dan peghayatan Uu kala berjoged—dengan kata lain: melihat kegembiraan seorang manusia sekaligus seorang pemimpin kala melupakan berbagai persoalan yang dihadapinya—saya benar-benar mendapati sebuah hiburan.

“Orang-orang menganggap serius para pelawak dan menganggap para politikus sebagai lelucon,” kata Will Roger, aktor sekaligus komedian Amerika. 

Saya tak tahu benar apakah setelah melihat video Uu saya masih menganggap orang nomor dua di Jawa Barat tersebut sebagai politikus atau pelawak; yang saya tahu, saya mulai menaruh rasa kagum kepadanya dan amat merindukan goyangan Uu berikutnya. Sebagai suami dan bapak, sebagai seorang manusia biasa.

Tarik, Kang~

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI PANJANG ANNA AKHMATOVA

REKUIEM 1935-1940 Bukan, bukan di bawah naungan langit asing atau di bawah perlindungan orang asing aku berbagi bersama saudara sebangsaku tapi di sana, di mana kemalangan bangsaku telah berlalu. (1961) PENGANTAR Pada hari-hari mengerikan rezim Nikolai Yezhov kuhabiskan tujuh belas bulan dalam antrean penjara di Leningrad. Suatu ketika, seseorang ‘mengenaliku’ di sana. Lalu seorang perempuan, berdiri di belakangku, yang, tentunya, tak pernah mendengar namaku, seketika tersentak dari lamunannya yang lesu —hal wajar bagi kami di sana—lantas bertanya ke padaku, berbisik di telingaku (di sana setiap pembicaraan hanya berlangsung lewat bisikan): “Bisakah kau jelaskan semua ini?” dan kujawab: “Ya, aku bisa.” Tiba-tiba sesuatu yang mirip senyuman terpancar pada apa yang selama bertahun-tahun cuma seraut wajah datar. (Leningrad, 1 April 1957)  PERSEMBAHAN Gunung-gunung menggelincir karena bencana ini, sungai-sungai besar tak lagi mengalir...

KISAH DI BALIK LAGU ABAH IWAN

Judul Buku:      Mentari Sang Kelana: Cerita dan Makna Lagu-lagu Iwan Abdulrachman Penulis:             Arie Malangyudo Penerbit:           Kepustakaan Populer Gramedia Tahun Terbit:    September, 2017 (Cetakan Pertama)   Halaman:          xii + 273 hlm; 14 cm x 21 cm ISBN:               978-602-424-676-1 Iwan Abdulrachman alias Abah Iwan adalah nama penting dalam khazanah musik balada (folks) Indonesia. Karakternya kuat. Karya-karyanya memukau dan mantap. Kiprahnya sebagai musikus membentang sejak usia 17 tahun hingga sekarang. Lewat buku Mentari Sang Kelana: Cerita dan Makna Lagu-lagu Iwan Abdulrachman; Arie Malangyudo berupaya menggali pesan sekaligus menyingkap asbabu-nuzul lagu-lagu yang ditulis sang maestro. Sejak 196...

Satu Sajak Abdulla Tuqai

PENGARUH Di saat paling sulit dan keras dalam kehidupan; Jika aku terbakar dalam api rindu dan kepedihan: Cepat kubaca sebuah bagian indah dari al-quran, Seluruh luka direnggut oleh tangan gaib yang terulur dari jiwa. Bahkan seluruh keraguan terbang dari hati dan aku pun mulai menangis: Dengan tangisan suci kuurai mutiara di pipi; Hatiku sungguh bersih, kubaca iman dan menjadi seorang mukmin; Rasa nyaman melingkupi: aku terbebas dari beban berat menghimpit ini; Ya Allah! Segala yang kau larang sepenuhnya tertolak dan rusak, ucapku. Aku pun bersujud dan berkata “Allah Maha Benar! Allah Maha Besar!” 1908