Langsung ke konten utama

Bagaimana Penerbit Teroka Merayakan Buku


Sepanjang 2020, sependek amatan saya, rasa-rasanya tak ada penerbit independen (indie) di Indonesia yang memperlakukan penulis se-serius Penerbit Teroka.

Sebelum buku naik cetak, mereka melakukan promosi amat gencar dan niat—lihat konten-konten media sosialnya. Setelah buku dicetak dan didistribusikan kepada pembaca (terutama lewat jaringan toko buku online), penerbit juga rajin bikin diskusi. Selain menggelar diskusi mandiri, Teroka juga menggelar diskusi buku terbitan mereka lewat jalur kolaborasi dengan banyak pihak, antara lain: institusi pendidikan dan komunitas-komunitas literasi.

Sekilas, hal demikian tampak biasa saja. Begitulah idealnya penerbit bekerja. Namun mengingat semua itu dilakukan secara daring—semua tahu, pandemi Covid-19 bikin banyak kegiatan mesti dilangsungkan via internet—apa yang dikerjakan Teroka justru menunjukkan kejelian mereka menyikapi peluang sekaligus menyiasati keadaan.

Setelah buku dibaca publik dan publik menyampaikan tanggapannya lewat berbagai cara: baik resensi maupun sekadar postingan di Instastory, pihak penerbit pun merespon tanggapan-tanggapan tersebut dengan menjadikannya konten media sosial. Menurut saya, langkah semacam itu bikin penulis makin merasa diapresiasi dan pada saat bersamaan membuat pembaca merasa pendapatnya dihargai.

Burung Kayu, buku terbitan pertama Penerbit Teroka, sudah sampai ke tangan pembaca sejak dua bulan lalu. Diskusi demi diskusi sudah digelar di mana-mana. Berbagai konten promosi juga kerap wara-wiri di beranda media sosial. Meski begitu, tetap saja saya kaget—sekaligus penasaran dan gembira—saat Penerbit Teroka mengumumkan ada gelaran “Punen Pusurakat Burung Kayu” pada Sabtu malam (29/8/2020) lalu.

Punen Pusurakat Burung Kayu adalah perayaan yang kami selenggarakan untuk terbitnya novel #BurungKayu karya Niduparas Erlang. Sengaja kami buat agenda ini dua bulan setelah buku terbit, agar telah banyak Peneroka yang membaca buku pertama Teroka Press ini. 

Pengisi acara—panitia menyebutnya kolaborator—berasal dari berbagai kalangan: komikus, akademikus, kritikus, aktor, dan seniman tato. Salah satunya bahkan peneliti kebudayaan Mentawai dari Perancis. Dengan bikin pesta daring begini, Teroka sudah memaksimalkan mereka punya relasi untuk bersama-sama merayakan terbitnya novel karya Niduparas Erlang ini.

Dalam gelaran tersebut, konten acara tidak hanya (lagi-lagi) diskusi, namun juga pertunjukan berupa pemutaran video dokumenter tentang tato Mentawai—hal yang diharapkan membuat pembaca lebih dekat dengan isi cerita Burung Kayu—serta video pembacaan nukilan novel yang direkam sebelum acara berlangsung.

Melihat semua itu ditayangkan via Zoom, saya cuma membatin: “Gila! Mereka niat banget anjayyyy. Apik nian.”

Para peserta Punen Pusurakat Burung Kayu

Jika kelak mengemuka pernyataan bahwa alih-alih apresiasi, semua hal yang dilakukan penerbit justru didasarkan pada pertimbangan bisnis belaka (baca: kapitalisasi), saya kira tidak jadi soal. Apa salahnya? Penerbit dan penulis memang harus sama-sama untung, kan? Dan dalam kasus ini, upaya mencari profit sudah Teroka lakukan lewat langkah-langkah yang kreatif. Halal. Bahkan tidak menutup kemungkinan, harapan saya, apa yang mereka lakukan bakal menjadi semacam standar baru dalam industri penerbitan indie tanah air.

“Wajar, mereka kan penerbit baru. Energinya masih besar.” Mungkin sekali pendapat semacam itu, sekarang atau nanti, bakal sampai di telinga Anda. Hemat saya: Syukurlah. Penerbit baru memang harus begitu. Baru merangkak saja sudah sedemikian militan bagaimana jika kelak sudah pandai berlari? Jawabannya memang bakal diuji dan ditentukan waktu.  

Lewat catatan kecil ini saya hanya ingin berbagi: bahwa apa yang saya lihat dari kerja-kerja Teroka mencerminkan kecintaan sekaligus kesungguhan mereka menggeluti industri buku. Rutin bikin konten (apik pula), menggelar diskusi hingga merayakan buku (seluruh yang hadir tampak gembira mengikuti acara itu) tampaknya musykil dilakukan sekiranya orang-orang di belakang penerbit ini—Esha, Fariq, Heru, dan Mitae (disusun secara alfabetis, tanpa maksud menomor-empatkan peran perempuan)—tak punya "kegilaan" serta kepedulian terhadap nasib buku dan penulisnya. 

Semoga istikamah, ya!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI PANJANG ANNA AKHMATOVA

REKUIEM 1935-1940 Bukan, bukan di bawah naungan langit asing atau di bawah perlindungan orang asing aku berbagi bersama saudara sebangsaku tapi di sana, di mana kemalangan bangsaku telah berlalu. (1961) PENGANTAR Pada hari-hari mengerikan rezim Nikolai Yezhov kuhabiskan tujuh belas bulan dalam antrean penjara di Leningrad. Suatu ketika, seseorang ‘mengenaliku’ di sana. Lalu seorang perempuan, berdiri di belakangku, yang, tentunya, tak pernah mendengar namaku, seketika tersentak dari lamunannya yang lesu —hal wajar bagi kami di sana—lantas bertanya ke padaku, berbisik di telingaku (di sana setiap pembicaraan hanya berlangsung lewat bisikan): “Bisakah kau jelaskan semua ini?” dan kujawab: “Ya, aku bisa.” Tiba-tiba sesuatu yang mirip senyuman terpancar pada apa yang selama bertahun-tahun cuma seraut wajah datar. (Leningrad, 1 April 1957)  PERSEMBAHAN Gunung-gunung menggelincir karena bencana ini, sungai-sungai besar tak lagi mengalir...

KISAH DI BALIK LAGU ABAH IWAN

Judul Buku:      Mentari Sang Kelana: Cerita dan Makna Lagu-lagu Iwan Abdulrachman Penulis:             Arie Malangyudo Penerbit:           Kepustakaan Populer Gramedia Tahun Terbit:    September, 2017 (Cetakan Pertama)   Halaman:          xii + 273 hlm; 14 cm x 21 cm ISBN:               978-602-424-676-1 Iwan Abdulrachman alias Abah Iwan adalah nama penting dalam khazanah musik balada (folks) Indonesia. Karakternya kuat. Karya-karyanya memukau dan mantap. Kiprahnya sebagai musikus membentang sejak usia 17 tahun hingga sekarang. Lewat buku Mentari Sang Kelana: Cerita dan Makna Lagu-lagu Iwan Abdulrachman; Arie Malangyudo berupaya menggali pesan sekaligus menyingkap asbabu-nuzul lagu-lagu yang ditulis sang maestro. Sejak 196...

Satu Sajak Abdulla Tuqai

PENGARUH Di saat paling sulit dan keras dalam kehidupan; Jika aku terbakar dalam api rindu dan kepedihan: Cepat kubaca sebuah bagian indah dari al-quran, Seluruh luka direnggut oleh tangan gaib yang terulur dari jiwa. Bahkan seluruh keraguan terbang dari hati dan aku pun mulai menangis: Dengan tangisan suci kuurai mutiara di pipi; Hatiku sungguh bersih, kubaca iman dan menjadi seorang mukmin; Rasa nyaman melingkupi: aku terbebas dari beban berat menghimpit ini; Ya Allah! Segala yang kau larang sepenuhnya tertolak dan rusak, ucapku. Aku pun bersujud dan berkata “Allah Maha Benar! Allah Maha Besar!” 1908