kehijauan
berkelindan
dalam sebuah percakapan
ihwal ideologi
dan cocok-tanaman.
(Saat itu, kabut nyaris memenuhi cakrawala
dan udara, dan udara tak sedingin biasanya).
“Bagiku, kawan
memilih benih yang baik itu
mengolah tanah dengan baik itu
adalah upaya sederhana
merawat sejarah dan iman
jamaah dan aturan
dari tipu daya penguasa.”
Kawanku mengucap kalimat itu
dengan nada ringan
namun heroik
penuh penghayatan.
Bahkan tiap kata
yang meluncur
dari rongga suaranya
seakan-akan hendak memupuk
sekaligus meracuni
pohon persahabatan
diri kami.
Sambil mengisap kretek dalam-dalam
menikmati kehidupan yang damai
namun penuh gejolak
di sela Cikuray-Papandayan
kami kenang suatu zaman
di mana iman
bagai udara
demikian ringan
dan bersahaja.
“Aku tak akan melupakan masa kanak dulu
meski tahu, itulah masa paling gelap dalam hidupku.”
(Aneh. Bagaimana mungkin kegelapan
melingkupi hari-hari kami
yang sepenuhnya riang
gemerlapan).
“Masuklah dalam jamaahku.
Masuklah sebagai benih baru
dalam kebun hijau segar itu.”
Seruan itu merambati pikiranku
bagai sulur-sulur daun tomat
lembut
lambat
dan (seolah)
penuh
rahmat.
Namun seluruh syaraf tubuhku
ayat-ayat yang pernah kupelajari dahulu
seakan-akan menjelma menjadi pagar:
seketika membuat batasan memusingkan
antara salah dan benar
antara tekad tetap taat
dan hasrat berkhianat.
“Musim panen hampir selesai
tapi aku akan terus jadi petani
bahkan bila sampai
mimpi-mimpi revolusi.”
Aha!
Frasa terakhir itu
utopia lama itu
tiba-tiba bikin banyak perkara
berlintasan
di kepala:
daulat negara
7 kalimat yang hilang
dalam sejarah Piagam Jakarta;
tentara dan pemuka agama
cita-cita dan trauma
fakta yang sulit dibaca
jihad dan perang saudara
(yang kelak memunculkan
pahlawan dan pemberontak
dalam sesosok tubuh yang sama)
lalu keyakinan yang polos dan buta:
khilafah
sorga
dalil yang ditafsirkan semaunya;
khilafah
sorga
yang dirampas dari bayangan kita semua;
lalu khilafah
lalu sorga
lalu pohon-pohon dan tanah
menyesalkan
takdir hidup
manusia.
Namun tak dapat kuucap sepatah kata pun
pada sang kawan. Bahasaku
tak lagi nyaring
meyakinkan.
(Terlebih saat ia bicara
tentang makna sesungguhnya
syahadatku
salatku
zakatku
puasaku
yang cuma sekadar
angin lalu
bakal diganjar
siulan
Tuhanku).
Jaring-jaring agitasi
terus menjerat leherku
bagai tali kekang
pada moncong kuda
peliharaanmu.
Lalu umbi-umbian
benalu
seluruh rumput liar
seakan-akan bersekutu
menghendaki aku
mengamini
seruan asing itu.
Hanya gamang kini menguasai.
Apalagi sang kawan mengabarkan
tanpa baiat—
akulah muslim
kafir
munafik
dalam waktu bersamaan.
Sedangkan dirinya golongan kaum beriman.
Aha!
Apatah iman
mesti dimonopoli
seolah bisnis rempah
di tanah terjajah ini.
Apatah iman
semacam asuransi
menjamin kerusakan hidupmu
suatu hari nanti.
Aku tengadah
menghela napas panjang
melafazkan istigfar
berulang-ulang.
(Sepasang merpati
di bubungan rumah
menatap kami
dengan matanya yang merah).
Lantas inilah yang terbayang kemudian:
sebentang jalan
dari arah Cisurupan
memang semestinya bersimpang
di paras Papanggungan.
Dengung lalat-lalat hitam kehijauan
sayup-sayup tertutupi
rimbunan azan.
Kemudian
(tanpa rasa keberatan
atau kehendak memaksakan)
lambaian tangan.
Saat itu
cakrawala telah berkabut sepenuhnya
dan Tuhan
kutemui sendirian.
Benar-benar
kutemu Ia
sendirian.
***
Versi pertama puisi di atas ada pada kumpulan "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).
Komentar
Posting Komentar